MAKALAH AQIDAH - AKHLAK II ALIRAN DAN TOKOH – TOKOH ILMU KALAM

MAKALAH AQIDAH - AKHLAK

ALIRAN DAN TOKOH – TOKOH ILMU KALAM 

( Aliran Murji’ah, Aliran Qadariyah, Aliran Jabariyah )




GURU PEMBIMBING    : Zamrizal, S.Pd.I, MA

KELAS             XI MIA 4

KELOMPOK IV

ANGGOTA   :

Jung Hoseok

Nurfadhilah Muharani Ms

Kim Namjoon

 

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 KOTA JAMBI

TAHUN 2019/2020




BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

    Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.

    Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teologi Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teologi disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

    Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu  Mu'tazilah, Syiah,  Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

    Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Murji’ah, Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Murji’ah, Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.


1.2 Rumusan Masalah

  1. Apa itu aliran Murji’ah ?
  2. Bagaimana sejarah munculnya aliran Murji’ah ?
  3. Apa itu aliran Qadariyah ?
  4. Bagaimana latar belakang dari aliran Qadariyah ?
  5. Apa itu aliran Jabariyah ?
  6. Bagaimana latar belakang munculnya aliran Jabariyah ?


1.3 Tujuan 

  1. Untuk lebih mengetahui tentang aliran Murji’ah 
  2. Untuk lebih mengetahui tentang munculnya aliran Murji’ah 
  3. Untuk lebih mengetahui tentang aliran Qadariyah 
  4. Untuk lebih mengetahui tentang munculnya aliran Qadariyah 
  5. Untuk lebih mengetahui tentang aliran Jabariyah 
  6. Untuk lebih mengetahui tentang munculnya aliran Jabariyah 



BAB II

PEMBAHASAN


2.1. Aliran Murji’ah

2.1.1. Sejarah munculnya aliran Murji’ah

    Murji’ah berasal dari kata al-irja atau arja’a. Arja’a yang berarti meng-harap. Karena keterlaluan mengharap, mereka tidak segan melakukan apa saja. Hal itu disebabkan karena mereka mempunyai harapan untuk diampuni dan dimaafkan oleh Allah. 

    Al-irja berarti penangguhan. Artinya menangguhkan kasus seseorang yang melakukan dosa besar hingga hari kiamat.Contoh orang-orang disini ialah Ali dan Muawiyah beserta pasukannya masing-masing.

Ada 2 permasalahan munculnya aliran Murji’ah, yaitu:

  • Permasalahan Politik

    Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra akhirnya keluar dari Ali yakni Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak bertahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain.    

    Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah.

    Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti penyelesaian persoalan ini di hari perhitungan di depan Tuhan.

    Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.


  • Permasalahan Ke-Tuhanan

    Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.

    Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.

    Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang  tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.

    Dinamakan Murji’ah karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum orang Mukmin yang berdosa besar dan belum bertaubat sampai matinya, orang itu belum dapat dihukum sekarang. Ketentuan persoalannya ditunda atau dikembalikan kepada Allah SWT. di hari akhir nanti.


2.1.2.  Pokok-pokok ajaran Murji’ah

    Murjiah muncul dengan pendapatnya bahwa dosa tidak merusak keimanan, sebagaimana ketaatan tidak memberi manfaat bagi orang yang kafir. Aliran Murji’ah membahas tentang batasan pengertian “Iman”.

    Menurut Ahlus Sunnah bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertainya dengan amal perbuatan seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Sedangkan kebanyakan golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan, itu bukan bagian dari iman.

    Kemudian sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua unsur, yaitu membenarkan dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja tidak cukup, dan mengikrarkan dengan lisan saja pun tidak cukup, tetapi harus dengan bersama kedua-duanya, supaya seseorang menjadi mukmin. Karena orang yang membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan tidak dinamakan mukmin.

    Gassan al-Kufi (tokoh Murji’ah) beranggapan bahwa “iman adalah mengenal Allah dan Rasul-Nya, serta mengakui apa-apa yang telah diturunkan Allah, dan yang dibawa oleh Rasul-Nya. Karenanya, iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang”.

    Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut :

  1. Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
  2. Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.


    Dengan kata lain, kelompok Murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya.

    Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang .


Harun Nasution menyebutkan ada empat ajaran pokok dalam doktrin teologi Murji’ah yaitu:

  1. Menunda hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bin  Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
  2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
  3. Menyerahkan meletakkan iman dari pada amal.
  4. Memberikan pengaharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.


    Sedangkan doktrin pemikiran Murji’ah yang lain, seperti batasan kufur, para pengikut Murji’ah terpecah menjadi beberapa golongan. Secara garis besar pemikiran dapat dijelaskan menurut kelompok Jahamiyah: bahwa kufur merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT.

    Pada golongan yang lainnya, menyatakan bahwa kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, misalnya tidak mengenal (jahl) terhadap Allah SWT, membenci dan sombong kepadanya, mendustakan Allah dan rasul-Nya sepenuh hati dan secara lisan, begitu pula membangkang terhadap-Nya, mengingkari-Nya, melawan-Nya, menyepelekan Allah dan dan rasulnya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu.

    Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati maupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun dengan iman. Mereka beranggapan bahwa seseorang yang membunuh ataupun menyakiti Nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur.  Tetapi, kalau seseorang mengahalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya diapun disebut kufur.


2.1.3. Ciri-ciri khusus Aliran Murji’ah

    Murji’ah memiliki sekian banyak ciri dan ada beberapa cirri yang paling menonjol, diantaranya sebagai berikut:

  1. Mereka berpendapat, iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran.
  2. Mereka berpendapat, iman tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak terbagi-bagi, orang yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama.
  3. Mereka mengharamkan istitsan` (mengucapkan ‘saya beriman insya Allah) di dalam iman.
  4. Mereka berpendapat, orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram (dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya.
  5. Mereka membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati.
  6. Mereka mensifati amal-amal kekufuran yang tidak membawa melainkan kepada kekufuran, seperti menghina dan mencela (Allah, Rasul-Nya, maupun syari’at Islam); bahwa hal itu bukanlah suatu kekufuran, tetapi hal itu menunjukkan pendustaan yang ada dalam hati. Lihat buku Murji’atul Ashr (hal. 54)


2.1.4. Pendapat ulama’ tentang Aliran Murji’ah

    Para ulama sepanjang masa telah menetapkan, bahwasanya Murji’ah merupakan kelompok bid’ah yang sesat. Mereka pun melakukan pengingkaran dan membantah kelompok ini. Di antara para kelompok ini ialah sebagai berikut:

  1. ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul-Muthalib (wafat 68 H). Beliau Radhiyallahu ‘anhu mengingatkan, “Berhati-hatilah dengan (pemikiran) Irja’, karena ia merupakan cabang dari pemikiran Nashrani.”
  2. Ibrahim bin Yazid bin Qa-is an-Nakha-I rahimahullah (wafat 96H) berkata, “Menurutku, sesungguhnya fitnah mereka (Murji’ah) lebih aku takutkan atas umat ini daripada fitnah al-Azariqah.”
  3. Muhammad bin Muslim az-Zuhri rahimahullah (wafat 125 H) berkata, “Tidak ada satu perbuatan bid’ah dalam Islam yang lebih berbahaya bagi pemeluknya (kaum Muslimin) dari bid’ah ini, yaitu Al-Irja’.”
  4. Yahya bin Sa’id al-Anshari (wafat 144 H) dan Qatadah (wafat 113 H), sebagaimana dikatakan oleh al-Auza-I rahimahullah, bahwa mere berdua mengatakan: “Menurut pendapat mereka, tidak ada perbuatan bid’ah yang lebih ditakutkan atas umat ini dari Al-Irja’.”
  5. Manshur bin al-Mu’tamir as-Sulami (wafat 132 H) brkata; “Aku tidak berpendapat seperti pendapat Murji’ah yang sesat dan bid’ah.”
  6. Lajnah ad-Da-imah lil-Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta, di dalam fatwa no. 21436, tertanggal 8 Rabi’uts-Tsani 1421 H menyebutkan tenteng fenomena pemikiran Murji`ah pada zaman ini. Dalam fatwa tersebut dikatakan: "Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran ini (Murji`ah) adalah kebatilan dan kesesatan yang nyata, menyelisihi al-Qur`ân, Sunnah dan ijma' Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, sejak dahulu sampai sekarang."


2.2 Aliran Qadariyah 

    Qadariah berasal dari bahasa arab qadarn, yang artinya kekuatan dan kemampuan . menurut pengertian terminology, Qadariah adalah aliran yang terpercaya bahwa segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh tangan tuhan . aliran aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah ciptaan Tuhan dan orang-orang adalah pencipta bagi segala prbuatannya. Dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkan atas kehendak mereka sendiri.  (Prof. Dr. H. Abdul Razak M.Ag.)

    Dari pendapat lain pengertian Qadariah berasal dari kata, qadara,yaqduru,quderun yang artinya memutuskan atau menentukan atau dari kata lainya yaitu qadara, yaqdiru, quderatan, maqduratan, maqdiratan yang mempunyai arti kekuasaan dan kekuatan .

    Jadi kata Qadariah mempunyai dua pengertian yaitu, pertama yang mengartikan menentukan. Dari kata menentukan inilah di ambil kata ''taqdir'' yang berarti takdir seseorang ditentukan oleh Allah SWT. Yang kedua yang mempunyai arti kekuatan dan kekuasan.  Sama seperti halnya pengertian pada buku sebelumnya yaitu manusia memiliki kekuatan kekuasann sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri.    

    Dari dua pendapat tersebut dapat di simpulkan bahwa  manusia mempunyai kekuatan tersendiri untuk menentukan nasibnya dan bisa juga dismpulkan bahwa manusia mempunyai  kebebasan dalam menentukan perjalanan nasibnya.


2.2.1. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah

Paham Qadariyah ini disebarkan oleh Ma'bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasqi sekitar tahun 70 H/ 689 M pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705M). Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Apabila aliran Ajbariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman Bani Umayyah, maka aliran Qadariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik maupun yang buruk. Jika Allah itu telah menentukan lebih dahulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbuatannya (kholiqul af'al). Manusia harus memiliki kebebasan berkehendak. Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah bergantung pada qadar Allahh saja, selamat atau celakanya seseorang itu telah ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggap-Nya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan.

    Ajaran-ajaran paham Qadariyah segera mendapat pengikut yang cukup, sehingga khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma'bad al-Juhni dan dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dia sendiri dihukum bunuh di Damaskus (80/690M). Setelah peristiwa ini, maka pengaruh paham Qadariyah semakin surut. Akan tetapi dengan munculnya paham Mu'tazilah, sebetulnya dapat diartikan sebagai penjelmaan kembali dari paham-paham Qadariyah. Sebab antara keduanya, terdapat persamaan demikian filsafatnya, yang selanjutnya disebut sebagai kaum Qadariyah Mu'tazilah.

    Ma'bad al-Juhani adalah seorang tabi'i yang baik, pernah belajar kepada Washil bin Atho', pendiri Mu'tazilah. Kemudian ia melibatkan diri dalam lapangan politik dan memihak kepada Abdurrahman bin al-Asy'ash, gubernur Sijistan dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dia dihukum mati oleh Al-Hajaj, Guberbur Basrah, karena ajaran-ajaranya pada tahun 80 H. Sesudah Ma'bad meninggal, paham Qadariyah terus disebarkan oleh Gailan ad Damasqi adalah penduduk kota Damaskus. Ayahnya seorang yang pernah bekerja pada Kalifah Usman bin Affan. Ketika penyebaran dilakukan di Dammaskus, ia segera mendapat tantangan dari khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Tapi sesudah khalifah ini wafat, Ghailan kembali melanjutkan penyebaran paham Qadariyah ini, sehingga ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Hisyam ibn Abdul Malik (720-743 M). Sebelum dieksekusi, terlebih dahulu diadakan perdebatan antara Ghailan dengan al-Auza'i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri (Mawardy Hatta, 2016, 83).

    Sebagian orang-orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu berasal Allah, sedangkan perbuatan manusia yang jelek itu manusia sendiri yang menciptakannya, tidak ada sangkut-pautnya dengan Allah.

    Para penganut ajaran Qadariyah dikatakan Majusi, karena mereka mengatakan adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan pencipta keburukan. Hal ini sama persis dengan ajaran agama Majusi atau Zaroaster yang mengatakan adanya dewa terang, kebaikan dan siang, disebut Ahura Mazda dan dewa keburukan, gelap dan malam, disebut Ahriman atau Angra Manyu.

    Ada pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya yang mengembangkan ajaran-ajaran Qadariyah itu bukan Ma'bad al-Juhni melainkan ada seorang penduduk Irak, yang mulanya beragama Kristen kemudian masuk Islam, namun akhirnya kembali ke Kristen lagi. Dari orang inilah, Ma'bad al-Juhni dan Gailan ad-Damasqi mengambil pemikirannya(Sahilun A Nasir, 1991, 131).

    Mereka sulit diketahui aliran-aliran. Karena mereka dalam segi tertentu mempunyai kesamaan ajaran dengan ajaran Mu'tazilah dan dalam segi yang lain mempunyai kesamaan dengan ajaran Murji'ah, sehingga disebut Murji'atul Qadariyah.


Bid'ahnya Qadariyah terdiri dari dua perkara besar yaitu :


Pertama, Pengingkaran terhadap ilmu Allah yang telah mendahului suatu kejadian


Kedua, Pernyataan bahwa hamba sendiri yang mempunyai kuasa penuh untuk mewujudkan perbuatannya.


    Dua perkara ini sudah punah sebagaimana yang telah dituturkan oleh Ibnu Hajar dan Al-Qurthubi. Tetapi Qadariyah sekarang hanya menetapkan ilmu Allah terhadap perbuatan hamba sebelum terjadi, hanya saja mereka berbeda dengan ulama salaf dalam hal perbuatan hamba terjadi atas kehendak sendiri tanpa ada campur tangan dari Allah. Kesesatan firqah ini lebih ringan daripada yang pertama.

    Oleh karena itu, ulama salaf mengkafirkan Qadariyah yang mengingkari ilmu Allah saja.Meskipun Qadariyah sudah punah tapi pemikirannya tumbuh subur dikalangan Mu'tazilah, sehingga Mu'tazilah bisa disebut ahli waris paham Qadariyah.


2.2.2. Tokoh dan Ajaran dalam Aliran Qadariyah

    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tokoh yang pertama kali memunculkan faham qadariyah dalam Islam adalah Ma’bad Al-Juhani dan temannya Ghailan Al-Dimasqy.

1. Ma’bad Al-Juhani

    Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh al-Hajjaj karena ia memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik, meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya.


2. Ghailan Ibnu Muslim Al-Damasyqy

    Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan. Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya . Ia akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.

    Seperti telah dijelaskan sebelumnya, menurut Harun Nasution, nama qadariyah adalah sebutan bagi kaum yang mengingkari qadar, yang mendustakan bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan oleh Allah. Nama qadariyah bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

    Dalam ajarannya, aliran qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.

    Penjelasan yang menyatakan bahwa manusia mempunyai qudrah lebih lanjut dijelaskan oleh ‘Ali Musthafha al-Ghurabi antara lain menyatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, namun Ia tidak memberikan kekuatan, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesia-siaan itu bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi. Dengan demikin dapat disimpulkan bahwa faham qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu jika seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau diberi siksaan di neraka, maka semua itu adalah atas pilihannya sendiri.


3. I’tiqad Qadariyah yang Bertentangan dengan Ahlussunnah Waljamaah

    Adapun doktrin yang dikembangkan oleh kaum qadariyah ini diantaranya:

  • Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
  • Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap alam semesta sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah.
  • Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.


2.3 Aliran Jabariyah

2.3.1. Latar Belakang dan Sejarah Perkembangan Aliran Jabariyah

    Secara bahasa jabariyah berasal dari kata جَبَرَ yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah, jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).

    Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah maha memaksa. Ungkapan Al-Insan Majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Kemudian kata Jabariyah juga ada berasal dari bahasa Arab, yaitu jabr yang artinya “keharusan” , istilah ini ditujukan kepada pengikut aliran Jabariyyah diantara teoritikus muslim masa awal yang mempertahankan determinisme sebagai lawan dari paham free will (kemauan bebas). Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengajarkan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah di tentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.

    Menurut Harun Nasution jabariyah adalah faham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, namun diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya. Di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.

    Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran jabariyah tidak ada penjelasan yang jelas. Abu Zahra menuturkan bahwa faham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.

    Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Para ahli sejarah mengkajinya melalui pendekatan geokurtural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia mengembangkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh Gurun Pasir Sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.

    Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak bergantung pada alam, sehingga menyebabkan mereka menganut faham fanatisme. Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan Bani Umayah. Namun, dalam perkembangannya, paham Al-Jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya di antaranya Al-Husain bin Muhammad, An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. 

    Sebenarnya benih-benih faham jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah diantaranya:

  • Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
  • Khalifah Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diinterogasi pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu yaitu hukuman potong tangan dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
  • Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
  • Adanya bibit pengaruh faham jabariyah yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabariyah muncul karena ada pengaruh dari pemikiran asing yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan dar agama Kristen bermazhab yacobit.


    Paparan diatas menjelaskan bahwa, bibit faham jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, jabariyah sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas. Aliran jabariyah berpaham: Serba Takdir. Aliran ini berpendapat bahwa manusia itu tidak ada kebebasan untuk menentukan perbuatannya, dangan alasan bahwa Tuhanlah yang menjadikan manusia dan segala perbuatannya.


2.3.2. Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya

    Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa yang pertama kali memperkenalkan faham jabariyah adalah Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan.


1. Al-Ja’d bin Dirham

    Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudia Al-Ja’d lari ke Kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.

    Ajaran pokok Ja’d bin Dirham secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut:

  • Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan Allah
  • Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk seperti berbicara, melihat, mendengar
  • Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.


2. Jahm Ibnu Shafwan

    Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shafwan. Ia termasuk Maulana Bani Rasib, juga seorang tabi’in berasal dari Khurasan, dan bertempat tinggal di Khuffah, ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais seorang mawali yang menentang pemerintahan Bani Umayah di Khurasan. Ia ditawan dalam pemberontakan dan dibunuh pada tahun 128H. Ia dibunuh karena masalah politik dan tidak ada kaiatannya dengan agama.

    Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrim dan moderat. Di antara ajaran jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatannya yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.

    Sebagai penganut dan penyebar faham jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm yang tersebar keberbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapatnya mengenai persoalan teologi adalah sebagai berikut:

  • Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa, ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
  • Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
  • Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya dengan konsep Iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
  • Kalam Tuhan adalah makhluk Allah mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.


    Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik. Tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab.

    Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut:

a) An-Najjar

    Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:

  1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab.
  2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi an-Najjar mengatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata, sehingga manusia dapat melihat Tuhan


b) Adh-Dhirar

    Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera ke enam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah Ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hokum.


c) Jahmiyah

    Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seotrang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan sifat yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui (‘alim), karena penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu tidak mungkin terjadi.

Secara umum ciri-ciri (yang juga merupakan pendapat dan ajaran ) paham Jabariyah adalah :

  • Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
  • Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
  • Ilmu Allah bersifat Huduts (baru).
  • Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
  • Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
  • Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
  • Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
  • Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.


    Adapun golongan jabariyah mengatakan bahwa tidak ada ikhtiar bagi manusia, sebab Tuhan telah lebih dahulu menentukan segala-galanya. Sementara Ahlussunnah menetapkan usaha dan ikhtiar bagi manusia dan Allah yang menentukan. Jadi, orang akan mendapat pahala dengan usaha dan ikhtiarnya, juga sebaliknya ia akan mendapat dosa oleh sebab usaha dan ikhtiarnya.


2.4 Perbandingan Aliran Jabariyah Dan Qadariyah

    Beberapa perbedaan mendasar terhadap berbagai permasalahan teologi yang berkembang diantara kedua aliran ini diantaranya adalah:

  1. Jabariyah meyakini bahwa segala perbuatan manusia telah diatur dan dipaksa oleh Allah sehingga manusia tidak memiliki kemampuan dan kehendak dalam hidup, sementara qadariyah meyakini bahwa Allah tidak ikut campur dalam kehidupan manusia sehingga manusia memiliki wewenang penuh dalam menentukan hidupnya dan dalam menentukan sikap.
  2. Jabariyah menyatakan bahwa surga dan neraka tidak kekal, setiap manusia pasti merasakan surga dan neraka, setelah itu keduanya akan lenyap. Qadariyah menyatakan bahwa manusia yang berbuat baik akan mendapat surga, sementara yang berbuat jahat akan mendapat ganjaran di neraka, kedua keputusan itu merupakan konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan manusia berdasarkan kehendak dan pilihannya sendiri.
  3. Takdir dalam pandangan kaum jabariyah memiliki makna bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dan digariskan Allah SWT, sehingga tidak ada pilihan bagi manusia. Sementara takdir menurut kaum qadariyah merupakan ketentuan Allah terhadap alam semesta sejak zaman azali, manusia menyesuaikan terhadap alam semesta melalui upaya dan pemikirannya yang tercermin dalam kreatifitasnya.


2.5 Pandangan Ahli Ilmu Kalam Terhadap Aliran Jabariyah Dan Qadariyah

    Para ahli ilmu kalam banyak memperdebatkan ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ulama jabariyah maupun ulama qadariyah. Beberapa argument diberikan untuk menolak ajaran kedua faham ini.

    Jika manusia tidak memiliki daya dan segala perbuatannya dipaksa oleh Allah, maka sejauh mana eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi, bagaimana fungsi berita gembira dan ancaman yang Allah berikan, serta untuk apa Allah menyediakan ganjaran atas segala perilaku manusia selama hidup.

    Keyakinan bahwa manusia dipaksa (majbur) dalam melakukan segala sesuatu akan membuat manusia menjadi malas berusaha karena menganggap semuanya merupakan takdir yang tak dapat diubah, juga dapat menyebabkan manusia tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap segala sesuatu.

    Begitu pun sebaliknya, jika seluruh perbuatan manusia berada pada tangan manusia itu sendiri tanpa andil Sang Pencipta, maka seberapa kuat kemampuan manusia untuk mengelola alam ini sementara kemampuan kita sangat terbatas. Maka di mana letak batas kreatifitas kita. Dengan keyakinan ini, maka di mana letak keimanan kita terhadap qadha dan qadar Allah SWT.

    Penolakan terhadap ajaran qadariyah ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya, pertama, bangsa Arab telah terbiasa dengan pemikiran pasrah terhadap alam yang keras dan ganas. Kedua, pemerintah yang menganut jabariyah menganggap gerakan faham qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, bhakan dapat menggulingkan kedudukan mereka di dalam pemerintahan.

    Dengan semakin berkembang teology, pemikiran ahli ilmu kalam pun semakin berkembang dan tentu semakin kritis. Hal ini banyak membantu masyarakat awam untuk memilih ajaran murni yang datang dari Allah SWT dan utusan-Nya. Masyarakat dapat memperkokoh keimanannya melalui ajaran yang disebarkan oleh para ulama ilmu kalam modern saat ini. Maka tidak heran bila saat ini banyak terbuka ketimpangan dan kerancuan dalam berbagai aliran karena kekritisan ulama ilmu kalam modern saat ini.



BAB III 

PENUTUP


3.1  Kesimpulan

    Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan diatas bahwa aliran Murji’ah yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman, berarti dia tetap mukmin, bukan kafir walaupun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tidak. Dan dikatakan Murji’ah karena ada sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.

    Intinya paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk tanpa campur tangan dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. . Dalam teologi modern faham Qadariyah ini dikenal dengan nama  free will, freedom of willingness atau fredom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.

    Paham Jabariyah memandang manusia sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Manusia tidak sanggup mewujudkan perbuatan-perbuatannya sesuai dengan kehendak dan pilihan bebasnya. Pendeknya, perbuatan-perbuatan itu hanyalah dipaksakan Tuhan kepada manusia. Pa-ham Jabariyah terpecah ke dalam dua kelompok, ekstrim dan moderat. Ja'ad ibn Dirham dan Jahm ibn Shafwan mewakili kelompok eksirim. Sedang Husain al-Najjar dan Dirar ibn 'Amr mewakii kelompok moderat. 


3.2 Saran 

    Setiap muslim bertanggung jawab terhadap bergesernya nilai-nilai kehidupan islam, karena itu setiap orang islam wajib untuk menjalankan aturan-aturan islam dalam kehidupan sehari-harinya agar menjadi contoh dan inspirasi bagi lingkungannya.



DAFTAR PUSTAKA

 

Aliran Murji’ah ( 8 September 2019 ).Diperoleh Dari   Http://Arifulamar88.Blogspot.Com/2015/03/Makalah-Aliran-Murjiah.Html

Aliran Jabariyah (8 September 2019 ).Diperoleh Dari Https://Manorarjunes.Blogspot.Com/2016/11/Makalah-Ilmu-Kalam-Aliran-Jabariyah.Html

Aliran Qadariyah (8 September 2019 ).Diperoleh Dari Http://Karyacombirayang.Blogspot.Com/2015/10/Aliran-Qadariyah.Html

Aliran Qadariyah Dan Jabariyah  (8 September 2019 ).Diperoleh Dari Https://Aina1327.Blogspot.Com/2019/02/Makalah-Aliran-Jabariyahqadariyah-Dan.Html

Aliran Qadariyah (8 September 2019 ).Diperoleh Dari Http://Salamkuminfo.Blogspot.Com/2016/12/Makalah-Ilmu-Kalam-Qadariyah-Dan.Html

Aliran Murji’ah (8 September 2019 ).Diperoleh Dari Http://Arifulamar88.Blogspot.Com/2015/03/Makalah-Aliran-Murjiah.Html

 

Agar terlihat lebih jelas, silahkan DOWNLOAD filenya iya..






MAKALAH AQIDAH - AKHLAK II ALIRAN DAN TOKOH – TOKOH ILMU KALAM  MAKALAH AQIDAH - AKHLAK  II  ALIRAN DAN TOKOH – TOKOH ILMU KALAM Reviewed by NfdhilahMMs on Mei 08, 2021 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.